Senin, 13 Juli 2015

JARAK: Cerpen Ruslan dan Anarima




JARAK
Oleh DWI NUR AKBAR W

            Cuaca di luar cukup cerah. Menandakan hari yang baik akan tiba. Aku masih bersama jutaan harapan di dalam otakku. Aku memutuskan untuk mengakhiri pelajaran ideologi marxisme untuk hari ini. Bulan ramadhan tiba, tanpa perasaan senang aku pun terus mencoba merasakan kesucian bulan penuh berkah ini. Entah mengapa, perasaan tak karuan ini selalu muncul. Perasaan gundah, takut, khawatir, antisipasi, serta was-was selalu menghampiri hari-hariku. Semua berawal semenjak kekasihku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami berdua.
            Masih dalam situasi yang sama. Puluhan pertanyaan berbondong-bondong merasuki otak serta pikiranku. Tidak habis pikir, mengapa otakku yang terisi oleh ribuan memori masa lalu, tiba-tiba muncul tiga nama yang selalu berulang dalam pikiranku. Tiga nama tersebut adalah mantan kekasihku semasa sekolah menengah pertama, mantan kekasihku semasa sekolah atas, dan nama perempuan yang beberapa minggu lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungannya denganku.
            Bagai sebuah elegi, ratapan kepedihan serta luapan emosi kekecewaan yang menyeruak ke dalam tubuh kurusku. Entah mengapa, seruan-seruan kebahagiaan seakan datang untuk menunjukkan sisi cerah kehidupanku. Mengakhiri semua kekacauan dalam pikiranku itu, aku terbangun dari tidurku di hari ini.

Pagi Hari, setelah sahur dan menghabiskan sedikit waktu untuk tidur
            Akhirnya, aku bisa merasakan sinar matahari yang menusuk ke pakaianku. Sinar UV yang tak terlihat dengan kasat mata memberi treatment tersendiri bagi kulitku ini. Hari ini aku harus menghadiri sebuah rapat di kampus. Rapat ini membuat sebuah pengharpan baru bagi diriku yang mulai bosan dengan aktivitas yang itu-itu saja di dalam kamarku. Akhir-akhir ini aku hanya menghabiskan waktu di dalam rumah. Mencari udara segar sesekali di sore hari, sembari mencari makanan dan minuman untuk berbuka puasa.
            Aku terlalu semangat, sampai lupa memperkenalkan diriku. Namaku, Ruslan Hadi Wijaya. Teman-teman semasa kanak-kanak memberi nama panggilan bagiku, Muka Besar. Ya, mungkin menjadi lelucon yang indah bagi mereka. Tetapi, panggilan itu seakan-akan menjadi sebuah pemicu bagi diriku untuk menjadi Besar. Entah mengapa, panggilan itu terkadang mengganggu, tapi aku tidak pernah marah mereka memanggilku dengan sebutan itu.
            Hari ini akan menjadi hari yang panjang bagiku. Menghabiskan waktu di tengah keriuhan aktivitas kampus yang membosankan. Aku kuliah di sebuah universitas di bilangan setiabudhi. Mengambil studi Sejarah dengan harapan dapat mengetahui sisi lain dunia yang tidak pernah aku ketahui sebelumnya. Ini hari pertamaku keluar dari gelapnya ruangan kegemaranku, sebuah tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu untuk membaca, menulis, bermain game, serta mengisi kekosongan dengan hal-hal yang kurang menarik.
            Aku tinggal bersama kakakku, ia seorang wanita super yang dengan sabar melakukan aktivitas yang menurutku membuat dirinya ’dehumanisasi’. Hari-hari ia habiskan hanya untuk bekerja di sebuah bank milik pemerintah. Tiba saatnya bagiku untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman di kampusku yang bernuansa islami dan luar biasa.
            Bersama motor kesayanganku, aku menembus teriknya matahari di siang hari, dengan penuh semangat kendaraanku ini kupacu dengan kecepatan penuh. Suara mesin yang terus bekerja keras membawaku tiba di kampus. Belum saja aku memarkirkan motorku, temanku Bian memanggilku dengan suara khasnya.

“Lan......!!! Ngapain kesini? Tumben, kamu kan gak ngambil semester pendek (SP)”.
            Bergegas aku mencari ruang untuk parkir, dan segera menghampiri Bian si Idiot.

“Ah, iya nih. Mau ngabisin waktu aja disini, bosan dirumah. Paling-paling cuman nonton film, makanya mampir ke kampus. Tumben masih disini, selesai kuliah jam berapa memang?”.

“Iya, aku masih disini, baru selesai kuliah. Haha, ada-ada saja kamu ini, untuk apa menghabiskan waktu di tempat yang membosankan ini? Lebih baik kita pergi ke tempat biasa yuk?”.
            Ajakan Bian memang menggiurkan, dia mengajakku untuk menghabiskan waktu di tempat Gaming tak jauh dari kampus. Biasanya kami menghabiskan waktu disana, menunggu kuliah yang akan tiba, atau sekedar begadang mengejar level sebuah permainan yang kami mainkan bersama. Meski kami berbeda departemen, namun dia satu-satunya teman yang dapat diandalkan dalam urusan gaming dan hangout.

“Ah, bukan aku menolak. Tapi aku ada urusan penting disini. Muhammad (Ketua Himpunan departemenku) mengajakku untuk rapat. Kau tau kan, aku sekarang terikat di dalam sebuah sistem. Lain kali mungkin aku ikut denganmu, Yan.”
Wajah konyol Bian mengawali setiap ia akan berbicara,

“Hahaha, masih jaman memang sibuk di dalam perkumpulan non-profit itu? Zaman sudah berubah. Reformasi yang dilakukan kakak-kakak kita jangan kita sia-siakan. Kamu mau jadi sebuah martir untuk kemajuan organisasi departemen dimana kamu studi? Ayolah, jangan sok jadi organisator, lebih baik kita menghabiskan waktu di ‘Zena’ (tempat Gaming kami). Gimana?”. Bian meyakinkanku dengan perkataan yang keluar dari mulutnya.

“Ah, gak deh.. aku gak enak sama Muhammad, takut buat dia menyesal memilih aku buat jadi ketua bidang Pendidikan. Lain waktu mungkin aku ikut denganmu deh”. Aku bergegas pergi meninggalkan Bian yang terus-menerus mengolok-olok.

“Oke kalau itu maumu. Jangan sampai menyesal ya, kita ada turnamen besar bulan depan. Jangan sampai kau menyia-nyiakan waktu kita untuk membesarkan Karakter dalam game  yang kita mainkan. Jangan sampai waktu mu banyak tersita oleh hal-hal yang seharusnya tidak kau alami ya, Lan...!!!”. Bian berteriak dari tempatnya berdiri, aku masih terus berjalan dengan bergegas, tanpa menegok kearahnya, dan terus menguatkan diriku untuk tidak terpengaruh oleh dirinya.

Sore hari, beberapa menit setelah rapat berakhir.
            Hari ini merupakan hari yang menyenangkan. Aku berhasil keluar dari ruang-ruang ketidakmungkinan menuju ke arah perjuangan militansi ala pasukan ISIS untuk mewujudkan cita-cita mereka. Masih di dalam gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), seketika teringat buku Elite (sebuah buku dengan tinjauan Marxisme, disunting oleh Sartono Kartodirdjo) belum aku kembalikan ke perpustakaan.
            Suasana kampus di bulan ramadhan tidak seramai biasanya. Kompleks foodcourt yang diinisiasi Koperasi Mahasiswa tidak lagi dihinggapi para wanita-wanita yang cantik jelita. Kini, hanya sedang ada pelatihan untuk meneruskan roda perusahaan serta berbagi ilmu demi perputaran finansial yang waras bagi Koperasi Mahasiswa tersebut. Khayalan akan tempat yang sepi itu pun membuat diriku ingat dinginnya malam dimana akhirnya Muhammad terpilih sebagai Ketua Himpunan departemenku. Oh, sudahlah..harus kupertimbangkan juga perkataan Bian tadi.
            Perpustakaan kampusku memang tidak semegah perpustakaan-perpustakaan di negeri luar nan jauh disana. Tetapi, setidaknya aku dapat menemukan buku yang diterbitkan oleh International Publisher co asal Amerika Serikat, berjudul The German Ideology parts I & III karya Guru Besar yang tidak pernah aku temui. Mereka merupakan duo revolusioner bagi diriku, ya Karl Marx dan Friedrich Engels. Perpustakaan ini mungkin belum selengkap perpustakaan Universitas Indonesia, namun setidaknya pusat informasi sudah terbangun dengan baik disini.

“Total denda yang harus dibayar Rp 29.000,-“, tegas seorang penjaga perpustakaan untuk sirkulasi buku terlambat dan pembuatan kartu tanda anggota perpustakaan untuk masyarakat umum yang berbicara ke arahku.

“Hah? Gak salah, pak?”, jawabku dengan nada tinggi.

“Gak, soalnya kamu sudah terlambat mengembalikan, hampir dua bulan. Denda perhari itu Rp 5.00,-. Sudah jangan banyak tanya, silahkan untuk membayar, dan jangan sampai lupa lagi untuk mengembalikan buku ya. Lebih baik perpanjang saja waktu peminjaman, daripada kamu rugi bayar denda”. Bapak-bapak berjanggut menawan itu menasihatiku dengan bijak, namun tetap saja, ini mahal juga denda yang harus aku bayar.

“Ini, Pak. Baik, Pak. Terimakasih banyak ya, Pak!”, ku akhiri pertemuan menjengkelkan dengan Bapak Berjanggut yang tak bersalah itu. Mengobati kekesalan hari ini aku berencana untuk bersantai sejenak di taman kampus, sembari memainkan smartphone yang dibelikan kakakku.
            Cukup menyakitkan juga membayar denda dengan nominal tersebut. Meskipun bagi segelintir orang, nominal itu tidak ada artinya. Bagiku, seberapa kecil pun uang yang dikeluaarkan, harus jelas kegunaannya. Meski kenyataannya aku rela menghabiskan banyak uang untuk main game dan membeli equipment untuk sebuah proyek band duo electronic/experimental bersama teman SMP.

Menjelang maghrib, bersantai di Taman Bareti.
            Ini hari yang menyenangkan juga menjengkelkan. Perasaan bahagia bercampur duka. Semua tertuang di dalam benakku, dan entah mengapa aku teringat akan suatu hal. Aku ingat, bahwa Anarima akan datang ke Bandung. Oiya, Anarima adalah nama seorang wanita yang selalu ada di pikiranku, yang aku ceritakan di awal cerita ini. Ia adalah mantan kekasihku semasa SMP. Sudah lima tahun lebih kami tidak berjumpa.

“Ah, iseng-iseng aku coba chat dia terlebih dulu deh”, dalam hati berbicara sembari membuka aplikasi sosial media.

“Ayo, baca dong...udah gak sabar pengen tahu kabar dari kamu,” adrenalin seakan terpacu, dengan detak jantung yang berdebar kian kencang.

Beberapa menit kemudian, Anarima membaca chat yang aku kirim. Entah mengapa perasaanku sangat bahagia saat itu. Bagai kisah keluarga hilang yang dipertemukan di sebuah acara televisi. Tetapi, ini nyata, perasaan dalam dunia yang indah, dibawah pohon rindang beserta angin yang bertiup seakan berbisik ke telingaku juga kicauan burung yang seakan bernyanyi. Memberikan sentuhan latar belakang musik serta situasi yang eksklusif, bagai kisah-kisah mitologi Eropa Barat.

Hai..apa kabar, Lan? Aku jadi ke Bandung. Kapan kita bisa bertemu? Sudah lama tidak bertemu. Aku disini tinggal di rumah kakak ku, Nadila, tulis Anarima dalam chat yang ia kirim kepadaku.
            Tidak terasa, bagai dibuai nostalgia, kami berdua saling membalas chat. Akhirnya, kami pun mendapatkan waktu untuk bertemu. Empat hari dari sekarang. Aku dan Anarima sepakat untuk bertemu. Entah mengapa, seakan terobati semua gundah yang kurasa selama ini. Salah satu dari tiga nama yang mengelilingi otak, kini telah mulai keluar dari sana. Berharap dapat bertemu dengan Anarima itu seperti mimpi. Apalagi bertemu yang lain?

Satu hari sebelum bertemu Anarima. Pertemuan bersama tim Kéntja Press Publishing.
Tidak sabar bertemu dengan Anarima. Lima tahun sudah dilalui, dan esok akhirnya bisa berjumpa pula. Hari ini juga merupakan hari penting bagiku. Esok Anarima, kini Kuterima, haha. Pertemuan dengan tim kerja sebuah percetakan yang dimiliki kakak tingkatku di departemen. Kini ia sedang studi mengejar gelar Magister di sebuah Universitas di bilangan Jatinangor.
Malam ini aku akan bertemu dengan tim Kéntja Press Publishing di sebuah kafe yang biasa ramai dikunjungi karena sajian Kopi yang menjadi andalannya. Masih bersantai di kamar, aku memutar lagu-lagu dengan genre PUNK. Genre musik yang lahir dari bar/klub kecil di 315 6th Bowery, New York, Amerika Serikat. Tempat itu diberi nama CBGB & OMFUG (Country BlueGrass and Blue and Other Music For Uplifting Gormandizers). Hillel Kristal atau Hilly adalah pendiri dari klub yang didirikan pada Desember 1973 dan ditutup pada 15 Oktober 2005 lalu.
Maksud hati ingin mengenang kejayaan CBGB di Amrik sana, apa daya realita berkata lain. Musik yang aku putar hari itu bukan Television, Talking Heads, atau Blondie yang beken di CBGB, melainkan band-band punk generasi kini, seperti Greenday hingga Anti-Flag untuk kelas mancanegara, dan Hark! It’s a Crawling Tar-Tar, Milisi Kecoa hingga NTRL untuk unit punk lokal. Masih di dalam kamar sekaligus ruang kerjaku. Belum terbayang wajah Anarima kini, kenangan lima tahun lalu seakan tiba-tiba mengisi ruang imajiner alam bawah sadarku.
Beberapa saat setelah menghabiskan banyak tenaga serta berpikir cukup keras, akhirnya aku menyelesaikan ritual ‘mandi’, haha. Entah mengapa, hingga hari ini, ya saat tulisan ini kalian baca, mandi merupakan hal sakral yang sulit untuk dilakukan. Langsung saja aku panaskan mesin motor kebanggannku, namanya ‘Iron Fist’ seperti julukannya, aku harap ia kuat, sekuat kepalan tangan pejuang revolusioner. Sembari menunggu Iron Fist siap untuk dipacu, aku mempersiapkan segala kebutuhan untuk pertemuan malam nanti.
Empat puluh lima menit kutempuh, jarak Holyspace (rumahku) hingga setiabudhi dengan motor. Akhirnya, sampai juga di kafe ini. Lantas bergegaslah aku menuju lantai dua, dimana aku akan bertemu dengan tim Kéntja Press Publishing. Pertemuan berjalan dengan hangat dan penuh keceriaan. Bersama Kang Wakidin (kakak tingkatku, sekaligus Direktur publishing), Mas Waluyo (kakak Kang Wakidin), Mba Dewi (adik Kang Wakidin), Kang Illyc (Kakak tingkatku, namanya memang Eropa Barat, tapi tenang dia asli Sunda) dan Mba Paramitha (kekasih Kang Illyc).
Pertemuan ini berlangsung cukup lama. Diskusi-diskusi yang dilakukan memberikan peringatan bagi diriku untuk bersiap, karena ini bukan sebuah usaha coba-coba. Bergabung dengan tim publishing ini sama dengan ibadah kepada Sang Hyang, dimana loyalitas serta kreativitas guna membangun dan memperkuat mentalitas produktif yang terbangun harus diunggulkan. Ini merupakan kesempatan langka yang aku dapat, aku bertugas sebagai designer dan juga runner majalah/koran online milik Kéntja Press Publishing.

Pertemuan dengan Anarima
            Alarm yang ku pasang tepat pukul 12:00 siang ternyata tidak berguna. Entah mengapa, hari ini aku bangun lebih cepat dari biasanya. Kini pukul 08:00 WIB, dan aku sudah bangun. Mimpi yang mengganggu membuatku terbangun, padahal aku semalam begadang. Mungkin ini bukti dari kekhawatiran diriku untuk hari ini. Aku takut terlambat, dan batal bertemu Anarima, dan Tuhan ternyata memberikanku jalan.
            Baru saja aku selesai mandi, terdengar suara dering telfon genggam milikku. Ternyata telepon dari kantor. Setelah selesai menerima telfon langsung kembali aku putar musik dari komputer jinjing kebanggaanku. Kali ini kesempatan bagi musik seperti SURI hingga MATIASU untuk unit mancanegara aku memilih MANTAR, GRAVE MIASMA dan EARTH.  Musik mungkin sudah menjadi hal terdekat bagi kehidupanku. Ibarat nadi, musik jauh lebih dekat dari ajalku.
            Baiklah, sebelum pergi aku harus menuju mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk mengambil sedikit uang hasil keuntungan penjualan bulan ini. Untung saja bulan ini ada barang terjual, kalau tidak, matilah sudah. Sebelum berangkat lagi-lagi aku mengecek alamat rumah kakak Anarima. Mengeceknya mulai dari peta cetak hingga google maps, haha. Akhirnya kudapati sebuah kabar dari google maps, yang menyatakan bahwa jarak tempuh dari Holyspace hingga tempat tujuan sekitar satu jam lima menit.
            Sampailah aku di ATM terdekat, aku mengambil uang secukupnya. Karena tujuanku hari ini tempat yang berada pada dataran tinggi, aku memutuskan untuk meminjam motor Ibuku, karena aku tahu Iron Fist tidak akan sanggup. Ia sudah renta, ia mulai di operasikan sejak tahun 2005, sepuluh tahun sudah umurnya. Setelah mendapat motor waras untuk dipacu, akhirnya kutancap gas menuju rumah Kak Nadila, kakak dari Anarima.
            Perjalanan menuju rumah Kak Nadila cukup melelahkan. Bukan persoalan jauh atau debu atau bahkan macet, tetapi jalanan yang di desain lurus membuat aku harus konsentrasi penuh. Entah mengapa tiba-tiba konsentrasi ku buyar, aku melihat samar-samar dari kejauhan seseorang akan menyeberang jalan.

“Hey...! Gak liat ya?! Mau nyebrang nih! Gila kau!”, teriakan seorang Bapak-bapak yang hampir saja ku tabrak.
            Aku menarik nafas dalam-dalam, sembari berharap tidak terjadi apa-apa lagi. Memang mengagetkan bapak-bapak tadi, tiba-tiba saja dia muncul dari balik semak. Bagai Aparat saja yang suka tiba-tiba muncul dari pepohonan, dengan harapan dapat menilang. Sial, aku harus lebih konsentrasi lagi, tidak lucu harus mati sebelum bertemu Anarima.
            Ujian hari ini pun berakhir, ditandai dengan diriku yang sudah berada di komplek tempat tinggal kakak dari Anarima, Kak Nadila. Namun, lagi-lagi masalah baru muncul. Kali ini aku bingung mencari nomor rumah Kak Nadila. Bodoh nya aku tidak bertanya kepada orang yang sedang keluar-masuk dari rumahnya. Santai dengan wajah polos aku berdiam di sepeda motor, dengan harapan Anarima bergegas membalas chat.
            Malu bertanya sesat di jalan. Memang benar kalau terus mementingkan rasa malu, bukan tujuan yang di dapat, melainkan hilang entah kemana. Mendapat sebuah bantuan dari Mas-mas penjual di depan komplek Kak Nadila, langsung saja aku mencari rumah itu dengan clue yang diberikan Mas-mas tadi. Seingatku, mas-mas tadi berbicara bahwa rumah di komplek ini, dalam penomorannya itu di silang, atau segaris untuk angka ganjil dan angka genap.
            Persetan dengan clue yang aku dapat dari Mas-mas tadi. Tetap saja belum juga aku jumpai rumah Kak Nadila. Keadaan yang tak menentu ini akhirnya dapat diakhiri dengan Anarima yang membalas chat dan ia berkata bahwa Kak Nadila menunggu di depan rumah.
            Walhasil memang bukan lelucon. Aku berhasil menemukan rumah Kak Nadila yang sebenarnya sudah berulang-ulang kali aku lalui. Namanya upaya dan kerja keras, memang mendapat upah yang sesuai, haha.

“Hai, Ruslan ya? Cari Anarima?”, tanya Kak Nadila.

“Iya, kak. Barusan aku cari-cari gak ketemu, akhirnya ketemu juga”, penuh perasaan canggung dan kaku, aku belum pernah sebelumnya bertemu dengan Kak Nadila. Sejauh ini aku merasa bahwa ia sinis kepada diriku. Terlihat dari konotasi bicaranya, juga tatapan matanya yang seakan kurang menerima kedatanganku.

“Masukan saja motornya ke dalam. Anarima sepertinya sedang bersolek, dia lama kalau bersolek. Masuk saja ke dalam, Lan”, tegas Kak Nadila memberi instruksi kepada diriku.

“I..iya, kak. Saya tunggu disini saja”, lagi-lagi rasa canggung ini menang atas rasa ceria dan supel yang biasa muncul ketika aku butuhkan, ah sial.
            Setelah menunggu beberapa menit, ya kurang lebih 15 menit, akhirnya Anarima keluar dari rumah Kak Nadila. Sebelum ia keluar, masih terasa perasaan tidak percaya di dalam benakku, apa benar ini Anarima? Anarima Savitri yang sudah lama tidak aku temui. Anarima yang selama ini hanya aku lihat dari layar telfon genggam saja. Ah, mungkin ini mimpi. Ya, itu yang terus ada di dalam benakku selama perjalanan pergi, menunggu, hingga akhirnya Anarima muncul di hadapanku.

“Hai, Ruslan! Kok pake sweater UGM (Universitas Gadjah Mada)? Bukannya kamu di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) ya?”, suara khas Anarima yang sudah kurang lebih lima tahun tidak aku dengar. Kembali terngiang di telingaku ini. Bagaikan amplifier yang sudah panas. Suara Anarima membuat diriku semakin saja lemas dibuatnya.

“Ehehe, iya gak apa-apa kan? Mau kemana nih kita?”, penuh dengan rasa kaku, penuh dengan perasaan yang berdebar, oh Tuhan, tolong hamba.

“Oh, di UPI? Jurusan apa?”, potong Kak Nadila ditengah pembicaraan kami.

“I..iya, kak. Jurusan Sejarah, hehe”, makin saja mati aku dibuatnya dihadapan Kak Nadila.

“Oh, FPIPS ya, hati-hati ya Anarima!”, ucapan terakhir yang keluar dari mulut Kak Nadila.
            Belum saja perasaan tidak percaya ditambah rasa malu, ditambah perasaan berdebar tak menentu ini berakhir. Anarima yang mulai menaiki sepeda motorku membuat perasaan tidak percaya ini makin kuat. Menyeringai dalam hati untuk teriak lantang, membantai semua perasaan yang tidak jelas di dalam diri ini. Anarima, benarkah ini kamu?

“Hai, yuk kita pergi”, ajak Anarima kepada diri ku.

“Ehmmm, iya ayo. Mau kemana nih? Masih mau ke Bukit?” tanya ku sembari malu kepada Anarima.

“Iya, ayo kesana. Kabarnya tempat itu bagus bukan? Oiya, kamu apa kabar? Sudah lima tahun tidak berjumpa”, ketika ia menanyakan kabar, makin saja aku melayang dibuatnya, aku sedang bermimpikah ini? Atau hanya sebuah gambaran imajiner yang sering datang dikala aku tertidur?

Bukit. Tempat pertemuan yang dijanjikan. Sial, tempat apa ini?
            Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, akhirnya kami pun sampai di Bukit. Bukit ini menjadi sebuah wacana romantis. Ketika realitas berbicara lain, ya kami disini dengan segala argumentasi kekecewaan. Awalnya sedikit ragu juga untuk mengajak Anarima kemari, tapi berhubung tempat ini belum pernah dia kunjungi, maka aku setuju saja kemari. Tetapi melihat keadaan tempat ini seperti sekarang, ini menjadi masalah buatku.
            Tempat ini menjadi sebuah tempat yang menunjukkan kelemahan Anarima pada diriku. Anarima yang jarang olahraga pun mengeluh saat harus berjalan menanjak, tidak jauh sebetulnya jarak yang ditempuh, tapi ya dia mengeluh. Menjadi bahan olok-olok buatku untuk dirinya, haha.

“Segini doang masa udah ngeluh sih? Gak pernah olahraga ya, An?”, dengan wajah penuh rasa bahagia, akhirnya bisa kubalas juga perasaan di rumah kakaknya tadi, kali ini aku yang menang.

“Ih, bukan persoalan cuman segini atau segitu. Jauh tau, mana aku salah pakai sepatu lagi, orang-orang pakai sepatu kats, aku? Kamu jangan duluan, bareng dong takut jatuh nih”, terlihat sifat manja dari Anarima muncul, bukan membuat aku kasihan kepadanya, yang ada makin membuat aku berusaha untuk melatihnya supaya menjadi luar biasa.

“Eh eh, beli air dulu buat buka Puasa”, Anarima memberi saran.

“Iya, yuk beli dulu”, ya, Anarima..kamu memang misterius.
            Waktu maghrib pun tiba. Sejenak kami beristirahat untuk minum. Setelahnya kami melanjutkan perjalanan kami menuju Masjid Salman, ITB (Institut Teknologi Bandung) di bilangan Taman Sari. Setibanya di Salman, bergegas kami mengambil air wudlu untuk melaksanakan sholat maghrib. Ternyata, aku lebih dahulu selesai. Aku memutuskan untuk mencari rokok serta cemilan. Alhasil, nihil, aku hanya mendapati sebungkus rokok yang memang mudah untuk di dapat. Kembali aku ke masjid, dan Anarima pun baru saja keluar dari masjid. Tanpa basa-basi, kami pun meneruskan perjalanan kami, dalam rangka pertemuan tak terprediksi ini, pertemuan setelah lima tahun tidak berjumpa akibat jarak yang memisahkan.
            Perjalanan kami pun akhirnya kami lanjutkan menuju ke sebuah kedai makanan di bilangan Cihampelas. Pengharapanku sih gak muluk-muluk, semoga saja ini bisa menjadi obat penebus dosa untuk hari ini. Waktu pun berlalu, dimana akhirnya aku dan Anarima menikmati makanan dari kedai ini. Kami pun memutuskan untuk mengakhiri pertemuan hari ini. Pertemuan setelah lima tahun tidak berjumpa, sebuah pengalaman yang tak terbayarkan.
            Mengakhiri pertemuan antara aku dan Anarima diselimuti banyak memori-memori masa lalu yang tak dapat hilang, meski beberapa sudah hilang termakan zaman. Perjalanan panjang menuju rumah Kak Nadila diisi dengan cerita-cerita pengalaman hidup ku, serta dirinya. Mengakhiri semua kenangan yang tlah lama terkubur di dalam alam bawah sadar. Anarima, semoga kita dapat bertemu kembali suatu saat nanti. Harapan pertemuan kita selanjutnya adalah, kedatangan aku atau kamu untuk menghadiri sebuah pesta perkawinan yang suci nan sakral. Entah aku yang terlebih dahulu, atau dirimu.
            Semua memori yang terekam merupakan sebuah cerita yang tak berujung. Sebuah jarak pemisah yang bias, menjadikan pribadi kita masing-masing menjadi lebih baik dari hari kemarin. Inilah, sebuah cerita pendek antara pertemuan Ruslan Hadi Wijaya dan Anarima Savitri. Kisah yang tertuang dalam sebuah JARAK.
SELESAI

***

#Catatan:

Semua nama yang ada dalam cerpen ini hanyalah fiktif belaka, adapun nama tempat yang tertera merupakan tempat yang nyata. Lokasi serta beberapa nama korporasi yang ikut serta dalam cerpen ini benar-benar asli tanpa rekayasa, ingat bukan rekayasa genetika, tetapi bukan karya fiktif belaka.

Download versi pdf Cerpen JARAK di sini

Minggu, 04 Januari 2015

JALANAN: Kisah Kontemporer Yuga

Intro:
Episode 1       
Namaku Yuga Aditama. Aku terlahir dari kalangan borjuis. Ayahku, Surya Aditama adalah seorang pengusaha meubel ternama. Aku anak semata wayang dari keluarga kecilku ini. Perusahaan meubel PT. Aditama Abadi adalah satu-satu nya peninggalan yang dititipkan Orang Tua ku, ya karena kini aku hanya bisa mengenang mereka melalui foto keluarga yang tergantung di ruang tamu.
            Kini usiaku 33 tahun. Sudah delapan tahun kulewati masa-masa dimana kedua orangtua ku meninggalkanku untuk selamanya. Aku tinggal bersama teman-teman di sebuah ruang gelap diantara reruntuhan bangunan tua di sudut Kota Bandung.
            Perjalanan panjang yang aku hadapi sejak enam tahun lalu, membawaku ke arah kehidupan yang nyata. Hidup di antara anak-anak yang sudah tidak memikirkan lagi arti hidup yang sebenarnya. Aku, Yuga Aditama, seorang calon pemilik perusahaan meubel ternama. Namun semua itu hanya secerca harapan di pagi hari, yang mungkin tak akan terjadi.
            Aku tinggal disini, di jalanan berdebu. Hidup yang keras menempa diriku untuk hidup yang sesungguhnya. Kalau aku boleh meminjam istilah dari Darwin, ‘survival of the fittest’. Dimana seleksi alam dan rasa untuk menjadi kuat dapat menjadi senjata untuk tetap hidup.
            Ini merupakan kisah hidupku. Hidup yang bukan hanya bertahan hidup dengan bekerja. Tetapi hidup dimana aku memulai pencarian ku akan keimanan. Pencarianku akan hakikat hidup, dan hidup untuk berkarya.
Kisah yang kutuliskan ini adalah kisahku tujuh tahun yang lalu, dimana aku merasa kepedihan dalam hidup. Dan berusaha untuk menaklukkan rasa sedih, sakit, takut, bahkan bahagia. Cerita yang kutuliskan ini semata-mata hanya untuk ingatan yang ingin selalu ku kenang. Ya, kisahku. Kisah seorang Yuga Aditama.
                                                                        ***
#Kepergian
            Hari itu hari dimana langit berubah mendung. Langit yang mendung pun mengucurkan tetesan air kehidupan ke tanah marcapada. Aku baru saja terbangun dari sofa yang biasa kugunakan untuk menonton TV. Kembalinya aku dari kamar mandi, ada breaking news di TV, dan seketika itu pula aku menntonnya. Ternyata berita itu mengabarkan sebuah pesawat yang terbang dari Newark Liberty International Airport, di Newark, New Jersey, USA. Baru saja terjatuh akibat mesin pesawat yang kemasukan burung.
            Awalnya, aku gak ‘ngeh’ tentang berita itu. Tak selang beberapa saat, pamanku Hartanto menelponku. Aku terkejut ketika paman berkata, “Ga, papa dan mamamu ada di pesawat yang dikabarkan jatuh..!”. Tanpa sadar, aku merenung dan terdiam di depan TV, duduk di sofa kesukaanku.
            Hatiku berkata, “semoga hal buruk tidak menimpa orangtua ku”. Hari itu pun menjadi hari yang membuatku kehilangan mood untuk beraktivitas. Hingga akhirnya, aku tertidur lelap di sofa depan TV.
............
            Keesokan harinya, aku terbangun oleh suara bising di rumahku. Aku tidak habis pikir, ada apa dengan orang-orang yang ribut di rumahku. Paman ku datang menghampiriku. Dengan wajah muram agak sedih, paman berkata, “Ga, orangtua mu menjadi korban pesawat naas itu. Ikhlaskan mereka, ga”. Aku yang baru terbangun pun, tiba-tiba tersadar dan teriak karena tidak sanggup menahan rasa ini, dan tidak mempercayai apa yang terjadi.
            Siang hari pamanku mengajakku untuk memastikan keadaan orangtua ku  di bandara Soekarno-Hatta. Tempat dimana kami dapat mengetahui kabar terakhir. Ternyata benar, orang tua ku menjadi korban pesawat naas tersebut.


Bersambung.....

Jumat, 08 Agustus 2014

Pisangku Belum Masak



Tahun ini tahun 2013. Dimana aku merasa sangat bersemangat, ya ini tahun dengan angka kesukaanku Tigabelas. Hari ini hari dimana orang-orang sedang bersorak gembira. Ketika bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh berkah nikmat akan segera datang. Aku masih seperti biasanya, hanya menjadi penonton dari kegembiraan orang-orang. Ya, karena memaang hanya aku yang tidak pernah mengekspresikan kegembiraan seperti orang-orang disekitarku.
Aku sedang seperti biasa memantau timeline twitter. Gak pernah ketinggalan aku suka kepo-in akun-akun merk dagangan orang barat. Terutama produk sepatu asal Jerman, udah jadi makanan dari kelas enam SD sampai sekarang.
Kuliah masih lama, ketika ramadhan membuat diriku untuk tidak merokok dan mengemil pisang (pisang goreng atau jus pisang), aku memilih untuk diam dirumah sambil mengisi waktu dengan menulis “apa yang terjadi” di status twitter. Emang pendek sih, cuma 140 karakter, tapi kalau bisa memanfaatkannya bisa jadi jalur aksi dan propaganda yang mematikan.
Baru banget aku liat sebuah akun yang bernama @xFYCx kabarnya akan merilis sebuah produk sepatu kece. Kirain itu gosip dan mitos belaka, seperti janji-janji para calon pemimpin bangsa melalui demokrasi perwakilan ini. Mereka memberikan kita janji-janji manis dan rayuan surgawi yang tak mungkin terjadi...tapi ini berbeda. Ternyata FYC bener-bener rilis produk sepatu dengan tagar yang beken ditulis #xFYCxFootwear.
Masih hari itu, dimana aku masih menunggu adzan maghrib berkumandang. Dimana aku masih menganggap bahwa standar produksi produk dalem negeri gak jauh lebih bagus dari produk Jerman yang jadi andalanku. Kicauan akun @xFYCx mulai berputar-putar di kepalaku, seakan-akan seperti Socrates, Plato dan Aristoteles memperdebatkan persoalan filsafat kehidupan. Akhirnya, aku memutuskan untuk pesan sepasang sepatu dengan logo pisang tersebut.
Aku lupa dan gak inget persis kapan tanggal aku pesen sepatu xFYCx dengan nama “Caven” tersebut, tapi yang aku inget adalah AKU ORANG PERTAMA yang resmi memiliki xFYCx footwear – orang pertama sebagai konsumen (mungkin) – karena yang pertama punya pasti Mas Ucay dan Mas Mutt, yes of course, haha. Aku bayar subuh-subuh, untung udah ada sms banking, kalau gak ada gagal lah aku menjadi yang pertama, ehehe...maaf sombong dikit, kan manusia diisi oleh sifat raksasa dan satria *jadi inget wayang yang di dalangi oleh Ki Manteb – terek tek tek, doooong.
Sebenernya alasan utama beli xFYCx adalah penasaran yang tinggi, serta kesempatan besar mendapat diskon, hahaha. Jujur aja aku salah satu penggila barang diskon, biar dapet diskonan yang penting gaya. Alhasil uang panjer aku kirim lewat rekening Bapak ku, karena kebetulan sekali saldo tabunganku lagi gak bagus, hehehe..maklum mahasiswa.
Setelah dapet sms konfirmasi, dan lain sebagainya. Aku cek e-mail dan penampakan keren bisa aku liat, dan ini diaaaaa...jeng jreeeeeng... *nyodorin Invoice ke pembaca yang budiman dan baik hati nya*
Setelahnya aku berinisiatif untuk jemput bola – istilah dalam usaha dimana kita berusaha menjemput calon pembeli. Aku dateng ke kantor xFYCx buat ambil barang karena dijanjikan oleh costumer service via sms. Alhasil tibalah aku di kantor xFYCx dan yang terjadi adalah....sepatuku tidak ada, karena kesalahan. Dengan wajah semi sedih aku berniat beranjak pulang dan kembali disaat Pisangku telah Masak. Alhasil, aku pulang dengan tangan memegang dua stiker lucu xFYCx yang diberikan oleh Mas Mutt, trims mas.
Setelah beberapa hari aku dikabari lagi sama CS via sms. Datanglah aku kembali ke kantor xFYCx dan hasilnya....masih nihil sepatuku ternyata sedang pergi ke Surabaya - klau saya gak salah denger - karena kesalahan pengiriman. Hari ini aku pulang tanpa membawa apa-apa hanya secerca cahaya harapan yang ku harap akan datang..ya, saat-saat dimana Pisangku Telah Masak dan siap ku makan.
Beberapa hari lagi aku mau berangkat ke Kampung Halaman orangtuaku di Wonosobo, dan Pisang ku belum juga ada ditanganku, alhasil aku tanya CS via sms. Dan...sebelum aku pulang kampung aku kembali meluncur menuju kantor xFYCx di bilangan Budisari, Setiabudhi. Dengan semangat membara di dalam diri, aku pun tiba dan menunggu Mas Mutt mempersilahkanku untuk masuk ke kantor xFYCx. Akhirnya penantian panjangku terbayar sudah dengan kedatangan CAVEN yang telah aku idam-idamkan. Pisangku ya pisangku kini sudah masak.
            Setelah berbincang-bincang sedikit sembari mencba sepatu baru ku ini. Mas Mutt mengajakku untuk berfoto bersama, aku juga gak paham maksudnya apa, yang pasti ini membantu aku agar populer sepertidirinya, hahahaha. Dan ini dia hasil jepretan Mas Abah, hehe
Gimana? Udah populer belum ya saya? Hahaha. Keadaan dimana pada akhirnya aku dapat memanen buah kesukaanku ini pun akhirnnya tiba. Dimana penantian panjangku seakan-akan seperti penantian seorang putri tidur yang menunggu pangeran tampan. Akhirnyaaaa sepatu baruuuuu!
Mohon maaf atas kurang nyaman dalam membaca tulisan saya. mohon maaf juga kalau gak ada foto saya pake xFYCx footwear, soalnya lupa file fotonya dimana, ehehe. Terimakasih telah berkunjung dan membaca!
Wassalamualaikum...
Om Swastiastu...