JARAK
Oleh
DWI NUR AKBAR W
Cuaca di luar cukup cerah. Menandakan hari yang baik akan
tiba. Aku masih bersama jutaan harapan di dalam otakku. Aku memutuskan untuk
mengakhiri pelajaran ideologi marxisme untuk hari ini. Bulan ramadhan tiba,
tanpa perasaan senang aku pun terus mencoba merasakan kesucian bulan penuh
berkah ini. Entah mengapa, perasaan tak karuan ini selalu muncul. Perasaan
gundah, takut, khawatir, antisipasi, serta was-was selalu menghampiri hari-hariku.
Semua berawal semenjak kekasihku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami
berdua.
Masih dalam situasi yang sama. Puluhan pertanyaan
berbondong-bondong merasuki otak serta pikiranku. Tidak habis pikir, mengapa
otakku yang terisi oleh ribuan memori masa lalu, tiba-tiba muncul tiga nama
yang selalu berulang dalam pikiranku. Tiga nama tersebut adalah mantan
kekasihku semasa sekolah menengah pertama, mantan kekasihku semasa sekolah
atas, dan nama perempuan yang beberapa minggu lalu memutuskan untuk mengakhiri
hubungannya denganku.
Bagai sebuah elegi, ratapan kepedihan serta luapan emosi
kekecewaan yang menyeruak ke dalam tubuh kurusku. Entah mengapa, seruan-seruan
kebahagiaan seakan datang untuk menunjukkan sisi cerah kehidupanku. Mengakhiri
semua kekacauan dalam pikiranku itu, aku terbangun dari tidurku di hari ini.
Pagi
Hari, setelah sahur dan menghabiskan sedikit waktu untuk tidur
Akhirnya, aku bisa merasakan sinar matahari yang menusuk
ke pakaianku. Sinar UV yang tak terlihat dengan kasat mata memberi treatment tersendiri bagi kulitku ini. Hari
ini aku harus menghadiri sebuah rapat di kampus. Rapat ini membuat sebuah
pengharpan baru bagi diriku yang mulai bosan dengan aktivitas yang itu-itu saja
di dalam kamarku. Akhir-akhir ini aku hanya menghabiskan waktu di dalam rumah.
Mencari udara segar sesekali di sore hari, sembari mencari makanan dan minuman
untuk berbuka puasa.
Aku terlalu semangat, sampai lupa memperkenalkan diriku.
Namaku, Ruslan Hadi Wijaya. Teman-teman semasa kanak-kanak memberi nama
panggilan bagiku, Muka Besar. Ya, mungkin menjadi lelucon yang indah bagi
mereka. Tetapi, panggilan itu seakan-akan menjadi sebuah pemicu bagi diriku
untuk menjadi Besar. Entah mengapa, panggilan itu terkadang mengganggu, tapi
aku tidak pernah marah mereka memanggilku dengan sebutan itu.
Hari ini akan menjadi hari yang panjang bagiku.
Menghabiskan waktu di tengah keriuhan aktivitas kampus yang membosankan. Aku
kuliah di sebuah universitas di bilangan setiabudhi. Mengambil studi Sejarah
dengan harapan dapat mengetahui sisi lain dunia yang tidak pernah aku ketahui
sebelumnya. Ini hari pertamaku keluar dari gelapnya ruangan kegemaranku, sebuah
tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu untuk membaca, menulis, bermain
game, serta mengisi kekosongan dengan hal-hal yang kurang menarik.
Aku tinggal bersama kakakku, ia seorang wanita super yang
dengan sabar melakukan aktivitas yang menurutku membuat dirinya ’dehumanisasi’.
Hari-hari ia habiskan hanya untuk bekerja di sebuah bank milik pemerintah. Tiba
saatnya bagiku untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman di kampusku yang bernuansa
islami dan luar biasa.
Bersama motor kesayanganku, aku menembus teriknya
matahari di siang hari, dengan penuh semangat kendaraanku ini kupacu dengan
kecepatan penuh. Suara mesin yang terus bekerja keras membawaku tiba di kampus.
Belum saja aku memarkirkan motorku, temanku Bian memanggilku dengan suara
khasnya.
“Lan......!!! Ngapain
kesini? Tumben, kamu kan gak ngambil semester pendek (SP)”.
Bergegas aku mencari ruang untuk parkir, dan segera
menghampiri Bian si Idiot.
“Ah, iya nih. Mau
ngabisin waktu aja disini, bosan dirumah. Paling-paling cuman nonton film,
makanya mampir ke kampus. Tumben masih disini, selesai kuliah jam berapa memang?”.
“Iya, aku masih disini,
baru selesai kuliah. Haha, ada-ada saja kamu ini, untuk apa menghabiskan waktu
di tempat yang membosankan ini? Lebih baik kita pergi ke tempat biasa yuk?”.
Ajakan Bian memang menggiurkan, dia mengajakku untuk
menghabiskan waktu di tempat Gaming
tak jauh dari kampus. Biasanya kami menghabiskan waktu disana, menunggu kuliah
yang akan tiba, atau sekedar begadang mengejar level sebuah permainan yang kami mainkan bersama. Meski kami
berbeda departemen, namun dia satu-satunya teman yang dapat diandalkan dalam
urusan gaming dan hangout.
“Ah, bukan aku menolak.
Tapi aku ada urusan penting disini. Muhammad (Ketua Himpunan departemenku)
mengajakku untuk rapat. Kau tau kan, aku sekarang terikat di dalam sebuah
sistem. Lain kali mungkin aku ikut denganmu, Yan.”
Wajah
konyol Bian mengawali setiap ia akan berbicara,
“Hahaha, masih jaman
memang sibuk di dalam perkumpulan non-profit itu? Zaman sudah berubah.
Reformasi yang dilakukan kakak-kakak kita jangan kita sia-siakan. Kamu mau jadi
sebuah martir untuk kemajuan organisasi departemen dimana kamu studi? Ayolah,
jangan sok jadi organisator, lebih baik kita menghabiskan waktu di ‘Zena’
(tempat Gaming kami). Gimana?”. Bian
meyakinkanku dengan perkataan yang keluar dari mulutnya.
“Ah, gak deh.. aku gak
enak sama Muhammad, takut buat dia menyesal memilih aku buat jadi ketua bidang Pendidikan.
Lain waktu mungkin aku ikut denganmu deh”. Aku bergegas pergi meninggalkan Bian
yang terus-menerus mengolok-olok.
“Oke kalau itu maumu.
Jangan sampai menyesal ya, kita ada turnamen besar bulan depan. Jangan sampai
kau menyia-nyiakan waktu kita untuk membesarkan Karakter dalam game yang kita mainkan. Jangan sampai waktu mu
banyak tersita oleh hal-hal yang seharusnya tidak kau alami ya, Lan...!!!”. Bian
berteriak dari tempatnya berdiri, aku masih terus berjalan dengan bergegas,
tanpa menegok kearahnya, dan terus menguatkan diriku untuk tidak terpengaruh
oleh dirinya.
Sore
hari, beberapa menit setelah rapat berakhir.
Hari ini merupakan hari yang menyenangkan. Aku berhasil
keluar dari ruang-ruang ketidakmungkinan menuju ke arah perjuangan militansi
ala pasukan ISIS untuk mewujudkan cita-cita mereka. Masih di dalam gedung Pusat
Kegiatan Mahasiswa (PKM), seketika teringat buku Elite (sebuah buku dengan
tinjauan Marxisme, disunting oleh Sartono Kartodirdjo) belum aku kembalikan ke
perpustakaan.
Suasana kampus di bulan ramadhan tidak seramai biasanya.
Kompleks foodcourt yang diinisiasi
Koperasi Mahasiswa tidak lagi dihinggapi para wanita-wanita yang cantik jelita.
Kini, hanya sedang ada pelatihan untuk meneruskan roda perusahaan serta berbagi
ilmu demi perputaran finansial yang waras bagi Koperasi Mahasiswa tersebut.
Khayalan akan tempat yang sepi itu pun membuat diriku ingat dinginnya malam
dimana akhirnya Muhammad terpilih sebagai Ketua Himpunan departemenku. Oh,
sudahlah..harus kupertimbangkan juga perkataan Bian tadi.
Perpustakaan kampusku memang tidak semegah
perpustakaan-perpustakaan di negeri luar nan jauh disana. Tetapi, setidaknya
aku dapat menemukan buku yang diterbitkan oleh International Publisher co asal
Amerika Serikat, berjudul The German Ideology
parts I & III karya Guru Besar yang tidak pernah aku temui. Mereka
merupakan duo revolusioner bagi diriku, ya Karl Marx dan Friedrich Engels.
Perpustakaan ini mungkin belum selengkap perpustakaan Universitas Indonesia,
namun setidaknya pusat informasi sudah terbangun dengan baik disini.
“Total denda yang harus
dibayar Rp 29.000,-“, tegas seorang penjaga perpustakaan untuk sirkulasi buku
terlambat dan pembuatan kartu tanda anggota perpustakaan untuk masyarakat umum yang
berbicara ke arahku.
“Hah? Gak salah, pak?”,
jawabku dengan nada tinggi.
“Gak, soalnya kamu sudah
terlambat mengembalikan, hampir dua bulan. Denda perhari itu Rp 5.00,-. Sudah
jangan banyak tanya, silahkan untuk membayar, dan jangan sampai lupa lagi untuk
mengembalikan buku ya. Lebih baik perpanjang saja waktu peminjaman, daripada
kamu rugi bayar denda”. Bapak-bapak berjanggut menawan itu menasihatiku dengan
bijak, namun tetap saja, ini mahal juga denda yang harus aku bayar.
“Ini, Pak. Baik, Pak.
Terimakasih banyak ya, Pak!”, ku akhiri pertemuan menjengkelkan dengan Bapak
Berjanggut yang tak bersalah itu. Mengobati kekesalan hari ini aku berencana
untuk bersantai sejenak di taman kampus, sembari memainkan smartphone yang dibelikan kakakku.
Cukup menyakitkan juga membayar denda dengan nominal
tersebut. Meskipun bagi segelintir orang, nominal itu tidak ada artinya.
Bagiku, seberapa kecil pun uang yang dikeluaarkan, harus jelas kegunaannya.
Meski kenyataannya aku rela menghabiskan banyak uang untuk main game dan membeli equipment untuk sebuah proyek band duo electronic/experimental bersama teman SMP.
Menjelang
maghrib, bersantai di Taman Bareti.
Ini hari yang
menyenangkan juga menjengkelkan. Perasaan bahagia bercampur duka. Semua
tertuang di dalam benakku, dan entah mengapa aku teringat akan suatu hal. Aku
ingat, bahwa Anarima akan datang ke Bandung. Oiya, Anarima adalah nama seorang
wanita yang selalu ada di pikiranku, yang aku ceritakan di awal cerita ini. Ia
adalah mantan kekasihku semasa SMP. Sudah lima tahun lebih kami tidak berjumpa.
“Ah, iseng-iseng aku coba
chat dia terlebih dulu deh”, dalam
hati berbicara sembari membuka aplikasi sosial media.
“Ayo, baca dong...udah
gak sabar pengen tahu kabar dari kamu,” adrenalin seakan terpacu, dengan detak
jantung yang berdebar kian kencang.
Beberapa menit
kemudian, Anarima membaca chat yang aku kirim. Entah mengapa perasaanku sangat
bahagia saat itu. Bagai kisah keluarga hilang yang dipertemukan di sebuah acara
televisi. Tetapi, ini nyata, perasaan dalam dunia yang indah, dibawah pohon
rindang beserta angin yang bertiup seakan berbisik ke telingaku juga kicauan
burung yang seakan bernyanyi. Memberikan sentuhan latar belakang musik serta
situasi yang eksklusif, bagai kisah-kisah mitologi Eropa Barat.
Hai..apa
kabar, Lan? Aku jadi ke Bandung. Kapan kita bisa bertemu? Sudah lama tidak
bertemu. Aku disini tinggal di rumah kakak ku, Nadila,
tulis Anarima dalam chat yang ia
kirim kepadaku.
Tidak terasa, bagai dibuai nostalgia, kami berdua saling
membalas chat. Akhirnya, kami pun
mendapatkan waktu untuk bertemu. Empat hari dari sekarang. Aku dan Anarima
sepakat untuk bertemu. Entah mengapa, seakan terobati semua gundah yang kurasa
selama ini. Salah satu dari tiga nama yang mengelilingi otak, kini telah mulai
keluar dari sana. Berharap dapat bertemu dengan Anarima itu seperti mimpi.
Apalagi bertemu yang lain?
Satu
hari sebelum bertemu Anarima. Pertemuan bersama tim Kéntja Press Publishing.
Tidak
sabar bertemu dengan Anarima. Lima tahun sudah dilalui, dan esok akhirnya bisa
berjumpa pula. Hari ini juga merupakan hari penting bagiku. Esok Anarima, kini
Kuterima, haha. Pertemuan dengan tim kerja sebuah percetakan yang dimiliki
kakak tingkatku di departemen. Kini ia sedang studi mengejar gelar Magister di
sebuah Universitas di bilangan Jatinangor.
Malam
ini aku akan bertemu dengan tim Kéntja Press Publishing di sebuah kafe yang
biasa ramai dikunjungi karena sajian Kopi yang menjadi andalannya. Masih
bersantai di kamar, aku memutar lagu-lagu dengan genre PUNK. Genre musik yang lahir dari bar/klub kecil di 315 6th Bowery, New York, Amerika
Serikat. Tempat itu diberi nama CBGB & OMFUG (Country BlueGrass and Blue and Other Music For Uplifting Gormandizers).
Hillel Kristal atau Hilly adalah pendiri dari klub yang didirikan pada Desember
1973 dan ditutup pada 15 Oktober 2005 lalu.
Maksud
hati ingin mengenang kejayaan CBGB di Amrik sana, apa daya realita berkata
lain. Musik yang aku putar hari itu bukan Television,
Talking Heads, atau Blondie yang
beken di CBGB, melainkan band-band punk generasi
kini, seperti Greenday hingga Anti-Flag untuk kelas mancanegara, dan Hark! It’s a Crawling Tar-Tar, Milisi Kecoa hingga NTRL untuk unit punk lokal. Masih di dalam kamar sekaligus ruang kerjaku. Belum
terbayang wajah Anarima kini, kenangan lima tahun lalu seakan tiba-tiba mengisi
ruang imajiner alam bawah sadarku.
Beberapa
saat setelah menghabiskan banyak tenaga serta berpikir cukup keras, akhirnya
aku menyelesaikan ritual ‘mandi’, haha. Entah mengapa, hingga hari ini, ya saat
tulisan ini kalian baca, mandi merupakan hal sakral yang sulit untuk dilakukan.
Langsung saja aku panaskan mesin motor kebanggannku, namanya ‘Iron Fist’ seperti julukannya, aku harap
ia kuat, sekuat kepalan tangan pejuang revolusioner. Sembari menunggu Iron Fist siap untuk dipacu, aku mempersiapkan
segala kebutuhan untuk pertemuan malam nanti.
Empat
puluh lima menit kutempuh, jarak Holyspace
(rumahku) hingga setiabudhi dengan motor. Akhirnya, sampai juga di kafe ini.
Lantas bergegaslah aku menuju lantai dua, dimana aku akan bertemu dengan tim Kéntja
Press Publishing. Pertemuan berjalan dengan hangat dan penuh keceriaan. Bersama
Kang Wakidin (kakak tingkatku, sekaligus Direktur publishing), Mas Waluyo (kakak Kang Wakidin), Mba Dewi (adik Kang
Wakidin), Kang Illyc (Kakak tingkatku, namanya memang Eropa Barat, tapi tenang
dia asli Sunda) dan Mba Paramitha (kekasih Kang Illyc).
Pertemuan
ini berlangsung cukup lama. Diskusi-diskusi yang dilakukan memberikan
peringatan bagi diriku untuk bersiap, karena ini bukan sebuah usaha coba-coba.
Bergabung dengan tim publishing ini
sama dengan ibadah kepada Sang Hyang, dimana
loyalitas serta kreativitas guna membangun dan memperkuat mentalitas produktif
yang terbangun harus diunggulkan. Ini merupakan kesempatan langka yang aku
dapat, aku bertugas sebagai designer dan
juga runner majalah/koran online
milik Kéntja Press Publishing.
Pertemuan
dengan Anarima
Alarm
yang
ku pasang tepat pukul 12:00 siang ternyata tidak berguna. Entah mengapa, hari
ini aku bangun lebih cepat dari biasanya. Kini pukul 08:00 WIB, dan aku sudah
bangun. Mimpi yang mengganggu membuatku terbangun, padahal aku semalam
begadang. Mungkin ini bukti dari kekhawatiran diriku untuk hari ini. Aku takut
terlambat, dan batal bertemu Anarima, dan Tuhan ternyata memberikanku jalan.
Baru saja aku selesai mandi, terdengar suara dering
telfon genggam milikku. Ternyata telepon dari kantor. Setelah selesai menerima
telfon langsung kembali aku putar musik dari komputer jinjing kebanggaanku.
Kali ini kesempatan bagi musik seperti SURI
hingga MATIASU untuk unit
mancanegara aku memilih MANTAR, GRAVE
MIASMA dan EARTH. Musik mungkin sudah menjadi hal terdekat bagi
kehidupanku. Ibarat nadi, musik jauh lebih dekat dari ajalku.
Baiklah, sebelum pergi aku harus menuju mesin Anjungan
Tunai Mandiri (ATM) untuk mengambil sedikit uang hasil keuntungan penjualan
bulan ini. Untung saja bulan ini ada barang terjual, kalau tidak, matilah
sudah. Sebelum berangkat lagi-lagi aku mengecek alamat rumah kakak Anarima.
Mengeceknya mulai dari peta cetak hingga google
maps, haha. Akhirnya kudapati sebuah kabar dari google maps, yang menyatakan bahwa jarak tempuh dari Holyspace hingga tempat tujuan sekitar
satu jam lima menit.
Sampailah aku di ATM terdekat, aku mengambil uang
secukupnya. Karena tujuanku hari ini tempat yang berada pada dataran tinggi, aku
memutuskan untuk meminjam motor Ibuku, karena aku tahu Iron Fist tidak akan sanggup. Ia sudah renta, ia mulai di
operasikan sejak tahun 2005, sepuluh tahun sudah umurnya. Setelah mendapat
motor waras untuk dipacu, akhirnya kutancap gas menuju rumah Kak Nadila, kakak
dari Anarima.
Perjalanan menuju rumah Kak Nadila cukup melelahkan.
Bukan persoalan jauh atau debu atau bahkan macet, tetapi jalanan yang di desain
lurus membuat aku harus konsentrasi penuh. Entah mengapa tiba-tiba konsentrasi
ku buyar, aku melihat samar-samar dari kejauhan seseorang akan menyeberang
jalan.
“Hey...! Gak liat ya?!
Mau nyebrang nih! Gila kau!”, teriakan seorang Bapak-bapak yang hampir saja ku
tabrak.
Aku menarik nafas dalam-dalam, sembari berharap tidak
terjadi apa-apa lagi. Memang mengagetkan bapak-bapak tadi, tiba-tiba saja dia
muncul dari balik semak. Bagai Aparat saja yang suka tiba-tiba muncul dari
pepohonan, dengan harapan dapat menilang. Sial, aku harus lebih konsentrasi
lagi, tidak lucu harus mati sebelum bertemu Anarima.
Ujian hari ini pun berakhir, ditandai dengan diriku yang
sudah berada di komplek tempat tinggal kakak dari Anarima, Kak Nadila. Namun,
lagi-lagi masalah baru muncul. Kali ini aku bingung mencari nomor rumah Kak
Nadila. Bodoh nya aku tidak bertanya kepada orang yang sedang keluar-masuk dari
rumahnya. Santai dengan wajah polos aku berdiam di sepeda motor, dengan harapan
Anarima bergegas membalas chat.
Malu bertanya sesat di jalan. Memang benar kalau terus
mementingkan rasa malu, bukan tujuan yang di dapat, melainkan hilang entah kemana.
Mendapat sebuah bantuan dari Mas-mas penjual di depan komplek Kak Nadila,
langsung saja aku mencari rumah itu dengan clue
yang diberikan Mas-mas tadi.
Seingatku, mas-mas tadi berbicara bahwa rumah di komplek ini, dalam
penomorannya itu di silang, atau segaris untuk angka ganjil dan angka genap.
Persetan dengan clue
yang aku dapat dari Mas-mas tadi. Tetap saja belum juga aku jumpai rumah
Kak Nadila. Keadaan yang tak menentu ini akhirnya dapat diakhiri dengan Anarima
yang membalas chat dan ia berkata
bahwa Kak Nadila menunggu di depan rumah.
Walhasil memang bukan lelucon. Aku berhasil menemukan
rumah Kak Nadila yang sebenarnya sudah berulang-ulang kali aku lalui. Namanya
upaya dan kerja keras, memang mendapat upah yang sesuai, haha.
“Hai, Ruslan ya? Cari
Anarima?”, tanya Kak Nadila.
“Iya, kak. Barusan aku
cari-cari gak ketemu, akhirnya ketemu juga”, penuh perasaan canggung dan kaku,
aku belum pernah sebelumnya bertemu dengan Kak Nadila. Sejauh ini aku merasa
bahwa ia sinis kepada diriku. Terlihat dari konotasi bicaranya, juga tatapan
matanya yang seakan kurang menerima kedatanganku.
“Masukan saja motornya
ke dalam. Anarima sepertinya sedang bersolek, dia lama kalau bersolek. Masuk
saja ke dalam, Lan”, tegas Kak Nadila memberi instruksi kepada diriku.
“I..iya, kak. Saya
tunggu disini saja”, lagi-lagi rasa canggung ini menang atas rasa ceria dan
supel yang biasa muncul ketika aku butuhkan, ah sial.
Setelah menunggu beberapa menit, ya kurang lebih 15
menit, akhirnya Anarima keluar dari rumah Kak Nadila. Sebelum ia keluar, masih
terasa perasaan tidak percaya di dalam benakku, apa benar ini Anarima? Anarima
Savitri yang sudah lama tidak aku temui. Anarima yang selama ini hanya aku
lihat dari layar telfon genggam saja. Ah, mungkin ini mimpi. Ya, itu yang terus
ada di dalam benakku selama perjalanan pergi, menunggu, hingga akhirnya Anarima
muncul di hadapanku.
“Hai, Ruslan! Kok pake
sweater UGM (Universitas Gadjah Mada)? Bukannya kamu di UPI (Universitas
Pendidikan Indonesia) ya?”, suara khas Anarima yang sudah kurang lebih lima
tahun tidak aku dengar. Kembali terngiang di telingaku ini. Bagaikan amplifier
yang sudah panas. Suara Anarima membuat diriku semakin saja lemas dibuatnya.
“Ehehe, iya gak apa-apa
kan? Mau kemana nih kita?”, penuh dengan rasa kaku, penuh dengan perasaan yang
berdebar, oh Tuhan, tolong hamba.
“Oh, di UPI? Jurusan
apa?”, potong Kak Nadila ditengah pembicaraan kami.
“I..iya, kak. Jurusan
Sejarah, hehe”, makin saja mati aku dibuatnya dihadapan Kak Nadila.
“Oh, FPIPS ya,
hati-hati ya Anarima!”, ucapan terakhir yang keluar dari mulut Kak Nadila.
Belum saja perasaan tidak percaya ditambah rasa malu,
ditambah perasaan berdebar tak menentu ini berakhir. Anarima yang mulai menaiki
sepeda motorku membuat perasaan tidak percaya ini makin kuat. Menyeringai dalam
hati untuk teriak lantang, membantai semua perasaan yang tidak jelas di dalam
diri ini. Anarima, benarkah ini kamu?
“Hai, yuk kita pergi”,
ajak Anarima kepada diri ku.
“Ehmmm, iya ayo. Mau
kemana nih? Masih mau ke Bukit?” tanya ku sembari malu kepada Anarima.
“Iya, ayo kesana.
Kabarnya tempat itu bagus bukan? Oiya, kamu apa kabar? Sudah lima tahun tidak
berjumpa”, ketika ia menanyakan kabar, makin saja aku melayang dibuatnya, aku
sedang bermimpikah ini? Atau hanya sebuah gambaran imajiner yang sering datang
dikala aku tertidur?
Bukit.
Tempat pertemuan yang dijanjikan. Sial, tempat apa ini?
Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, akhirnya kami
pun sampai di Bukit. Bukit ini menjadi sebuah wacana romantis. Ketika realitas
berbicara lain, ya kami disini dengan segala argumentasi kekecewaan. Awalnya
sedikit ragu juga untuk mengajak Anarima kemari, tapi berhubung tempat ini belum
pernah dia kunjungi, maka aku setuju saja kemari. Tetapi melihat keadaan tempat
ini seperti sekarang, ini menjadi masalah buatku.
Tempat ini menjadi sebuah tempat yang menunjukkan
kelemahan Anarima pada diriku. Anarima yang jarang olahraga pun mengeluh saat
harus berjalan menanjak, tidak jauh sebetulnya jarak yang ditempuh, tapi ya dia
mengeluh. Menjadi bahan olok-olok buatku untuk dirinya, haha.
“Segini doang masa udah
ngeluh sih? Gak pernah olahraga ya, An?”, dengan wajah penuh rasa bahagia, akhirnya
bisa kubalas juga perasaan di rumah kakaknya tadi, kali ini aku yang menang.
“Ih, bukan persoalan
cuman segini atau segitu. Jauh tau, mana aku salah pakai sepatu lagi,
orang-orang pakai sepatu kats, aku? Kamu jangan duluan, bareng dong takut jatuh
nih”, terlihat sifat manja dari Anarima muncul, bukan membuat aku kasihan
kepadanya, yang ada makin membuat aku berusaha untuk melatihnya supaya menjadi
luar biasa.
“Eh eh, beli air dulu
buat buka Puasa”, Anarima memberi saran.
“Iya, yuk beli dulu”,
ya, Anarima..kamu memang misterius.
Waktu maghrib pun tiba. Sejenak kami beristirahat untuk
minum. Setelahnya kami melanjutkan perjalanan kami menuju Masjid Salman, ITB
(Institut Teknologi Bandung) di bilangan Taman Sari. Setibanya di Salman,
bergegas kami mengambil air wudlu untuk melaksanakan sholat maghrib. Ternyata,
aku lebih dahulu selesai. Aku memutuskan untuk mencari rokok serta cemilan.
Alhasil, nihil, aku hanya mendapati sebungkus rokok yang memang mudah untuk di
dapat. Kembali aku ke masjid, dan Anarima pun baru saja keluar dari masjid.
Tanpa basa-basi, kami pun meneruskan perjalanan kami, dalam rangka pertemuan
tak terprediksi ini, pertemuan setelah lima tahun tidak berjumpa akibat jarak
yang memisahkan.
Perjalanan kami pun akhirnya kami lanjutkan menuju ke
sebuah kedai makanan di bilangan Cihampelas. Pengharapanku sih gak muluk-muluk,
semoga saja ini bisa menjadi obat penebus dosa untuk hari ini. Waktu pun
berlalu, dimana akhirnya aku dan Anarima menikmati makanan dari kedai ini. Kami
pun memutuskan untuk mengakhiri pertemuan hari ini. Pertemuan setelah lima
tahun tidak berjumpa, sebuah pengalaman yang tak terbayarkan.
Mengakhiri pertemuan antara aku dan Anarima diselimuti
banyak memori-memori masa lalu yang tak dapat hilang, meski beberapa sudah
hilang termakan zaman. Perjalanan panjang menuju rumah Kak Nadila diisi dengan
cerita-cerita pengalaman hidup ku, serta dirinya. Mengakhiri semua kenangan
yang tlah lama terkubur di dalam alam bawah sadar. Anarima, semoga kita dapat
bertemu kembali suatu saat nanti. Harapan pertemuan kita selanjutnya adalah,
kedatangan aku atau kamu untuk menghadiri sebuah pesta perkawinan yang suci nan
sakral. Entah aku yang terlebih dahulu, atau dirimu.
Semua memori yang terekam merupakan sebuah cerita yang
tak berujung. Sebuah jarak pemisah yang bias, menjadikan pribadi kita
masing-masing menjadi lebih baik dari hari kemarin. Inilah, sebuah cerita
pendek antara pertemuan Ruslan Hadi Wijaya dan Anarima Savitri. Kisah yang
tertuang dalam sebuah JARAK.
SELESAI
***
#Catatan:
Semua nama yang ada
dalam cerpen ini hanyalah fiktif belaka, adapun nama tempat yang tertera
merupakan tempat yang nyata. Lokasi serta beberapa nama korporasi yang ikut
serta dalam cerpen ini benar-benar asli tanpa rekayasa, ingat bukan rekayasa
genetika, tetapi bukan karya fiktif belaka.
Download versi pdf Cerpen JARAK di sini
Download versi pdf Cerpen JARAK di sini