Intro:
Episode 1
Namaku Yuga Aditama. Aku terlahir dari kalangan borjuis.
Ayahku, Surya Aditama adalah seorang pengusaha meubel ternama. Aku anak semata
wayang dari keluarga kecilku ini. Perusahaan meubel PT. Aditama Abadi adalah
satu-satu nya peninggalan yang dititipkan Orang Tua ku, ya karena kini aku
hanya bisa mengenang mereka melalui foto keluarga yang tergantung di ruang
tamu.
Kini usiaku 33 tahun. Sudah
delapan tahun kulewati masa-masa dimana kedua orangtua ku meninggalkanku untuk
selamanya. Aku tinggal bersama teman-teman di sebuah ruang gelap diantara reruntuhan
bangunan tua di sudut Kota Bandung.
Perjalanan panjang yang
aku hadapi sejak enam tahun lalu, membawaku ke arah kehidupan yang nyata. Hidup
di antara anak-anak yang sudah tidak memikirkan lagi arti hidup yang
sebenarnya. Aku, Yuga Aditama, seorang calon pemilik perusahaan meubel ternama.
Namun semua itu hanya secerca harapan di pagi hari, yang mungkin tak akan
terjadi.
Aku tinggal disini, di
jalanan berdebu. Hidup yang keras menempa diriku untuk hidup yang sesungguhnya.
Kalau aku boleh meminjam istilah dari Darwin, ‘survival of the fittest’. Dimana
seleksi alam dan rasa untuk menjadi kuat dapat menjadi senjata untuk tetap
hidup.
Ini merupakan kisah hidupku.
Hidup yang bukan hanya bertahan hidup dengan bekerja. Tetapi hidup dimana aku
memulai pencarian ku akan keimanan. Pencarianku akan hakikat hidup, dan hidup
untuk berkarya.
Kisah yang kutuliskan ini adalah kisahku tujuh tahun yang lalu, dimana aku
merasa kepedihan dalam hidup. Dan berusaha untuk menaklukkan rasa sedih, sakit,
takut, bahkan bahagia. Cerita yang kutuliskan ini semata-mata hanya untuk
ingatan yang ingin selalu ku kenang. Ya, kisahku. Kisah seorang Yuga Aditama.
***
#Kepergian
Hari
itu hari dimana langit berubah mendung. Langit yang mendung pun mengucurkan
tetesan air kehidupan ke tanah marcapada. Aku baru saja terbangun dari sofa
yang biasa kugunakan untuk menonton TV. Kembalinya aku dari kamar mandi, ada breaking news di TV, dan seketika itu
pula aku menntonnya. Ternyata berita itu mengabarkan sebuah pesawat yang
terbang dari Newark Liberty International Airport, di Newark, New Jersey, USA.
Baru saja terjatuh akibat mesin pesawat yang kemasukan burung.
Awalnya, aku gak ‘ngeh’
tentang berita itu. Tak selang beberapa saat, pamanku Hartanto menelponku. Aku terkejut
ketika paman berkata, “Ga, papa dan mamamu ada di pesawat yang dikabarkan jatuh..!”.
Tanpa sadar, aku merenung dan terdiam di depan TV, duduk di sofa kesukaanku.
Hatiku berkata, “semoga
hal buruk tidak menimpa orangtua ku”. Hari itu pun menjadi hari yang membuatku
kehilangan mood untuk beraktivitas. Hingga
akhirnya, aku tertidur lelap di sofa depan TV.
............
Keesokan harinya, aku
terbangun oleh suara bising di rumahku. Aku tidak habis pikir, ada apa dengan
orang-orang yang ribut di rumahku. Paman ku datang menghampiriku. Dengan wajah
muram agak sedih, paman berkata, “Ga, orangtua mu menjadi korban pesawat naas
itu. Ikhlaskan mereka, ga”. Aku yang baru terbangun pun, tiba-tiba tersadar dan
teriak karena tidak sanggup menahan rasa ini, dan tidak mempercayai apa yang
terjadi.
Siang hari pamanku
mengajakku untuk memastikan keadaan orangtua ku
di bandara Soekarno-Hatta. Tempat dimana kami dapat mengetahui kabar
terakhir. Ternyata benar, orang tua ku menjadi korban pesawat naas tersebut.
Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar